Malahayati | Pahlawan Perempuan Pelaut Indonesia

Hanya 2% dari total pelaut merupakan perempuan. Dan kebanyakannya bekerja di kapal pesiar, kapal ferry dan yang paling sering berada di kapal FOC (Flag of Convenience) dengan perlakuan buruk dan bayaran yang di bawah standar. Kebanyakan perempuan pelaut mengalami diskriminasi dan pelecehan seksual. Tetapi semua itu tidak menyurutkan para perempuan yang benar-benar mencintai pekerjaan sebagai pelaut. Banyak sekali perempuan-perempuan -- baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia -- yang menjadikan pelaut sebagai bagian terpenting dari hidupnya.

Untuk memberikan inspirasi dan -- sekaligus -- motivasi kepada para perempuan, maka kali ini saya berniat menampilkan tokoh sejarah asli Indonesia yang begitu menggemparkan dunia hingga namanya dikenal di Eropa sebagai seorang perempuan pelaut dan sekaligus pahlawan nasional yang sangat disegani di Eropa -- tetapi sayangnya namanya tidak seberapa dikenal di Indonesia ... Malahayati.

Pada masa kejayaan Aceh, akhir abad 15 masehi, Aceh melahirkan seorang tokoh wanita tangguh, bernama Keumalahayati, ia lebih terkenal dengan sebutan Malahayati. Adapun nama Keumala dalam bahasa Aceh itu sama dengan Keumala yang berarti sebuah batu yang indah dan bercahaya.

Berdasarkan sebuah manuskrip yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia din berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari kalangan bangsawan Aceh, dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu.

Dia adalah muslimah pertama dunia yang menjadi laksamana di zaman pelayaran modern. Saat sebagian besar rakyat negeri ini belum memikirkan emansipasi, dia sudah mendobrak batas-batas gender yang baru dibincangkan kemudian.

Nama Malahayati mudah ditemukan di literatur Barat maupun China. Di Indonesia, dia memang tidak sepopuler Cut Nyak Dien, namun oleh peneliti barat, Malahayati disejajarkan dengan Semiramis, Permaisuri Raja Babilonia dan Katherina II, Kaisar Rusia.

Ia hidup di masa Kerajaan Atjeh Darussalam dipimpin oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV yang memerintah antara tahun 1589-1604 M.

Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. (Rusdi Sufi, 1994 : 30-33).

Jika dilihat dari silsilah Keumalahayati dapat dipastikan bahwa dirinya berasal dari darah biru, yang merupakan keluarga bangsawan Istana. Ayah dan kakeknya Malahayati pernah menjadi Laksamana Angkatan Laut, sehingga jiwa bahari yang dimiliki oleh ayah dan kakeknya sangat berpengaruh pada perkembangan pribadinya, seperti kata pepatah, "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya".

Oleh karena sang ayah dan kakeknya seorang Panglima angkatan Laut, maka jiwa bahari tersebut dapat diwarisi oleh Malahayati. Kendatipun dirinya hanya seorang wanita, ia juga ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya.

Malahayati pada awalnya adalah dipercaya sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan luar istana. Karir militernya menanjak setelah kesuksesannya “menghajar” kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal Cornelis de Houtman yang terkenal kejam. Bahkan Cornelis de Houtman tewas ditangan Malahayati pada pertempuran satu lawan satu di geladak kapal pada 11 September 1599.

Masa Gadis

Pada masa Malahayati masih gadis remaja, Kerajaan Aceh telah memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Maqdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Laut, dengan para instrukturnya sebagian berasal dari Turki.

Sebagai anak seorang Panglima Angkatan Laut, Keumalahayati mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan yang ia inginkan. Setelah melalui pendidikan agama di meunasah, dan dayah.

Malahayati berniat mengikuti karir ayahnya yang pada waktu itu telah menjadi Laksamana. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, Keumalahayati bercita-cita ingin menjadi pelaut yang tangguh. Untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pelaut, ia kemudian ikut mendaftarkan diri dalam penerimaan calon taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis.

Cucu dari Laksamana Muhammad Said Syah ini terbilang istimewa. Keleluasaannya memilih jenjang pendidikan itu dilandasi atas kecerdasan yang dimiliki.

Berkat kecerdasan dan ketangkasannya, ia diterima sebagai siswa taruna akademi militer tersebut. Pendidikan militer pada tahun pertama dan kedua ia lalui dengan sangat baik, karena ternyata ia adalah seorang taruna wanita yang berprestasi sangat memuaskan.

Sebagai taruna yang cakap dan mempunyai prestasi yang sangat menonjol telah membuat la sangat dikenal di kalangan para taruna lainnya, termasuk juga para taruna yang setingkat lebih tinggi dari dirinya. Maka tidak mengherankan kalau banyak mahasiswa di Akademi Militer tersebut yang sayang padanya. 

Bahkan banyak pula yang telah tertambat hatinya pada wanita tersebut. Namun di antara sekian banyak taruna laki-laki yang jatuh cinta padanya, tidak ada yang berkenan di hatinya. la lebih mementingkan pendidikannya dari pada memikirkan hal-hal yang menurutnya belum saatnya untuk dilakukan.

Sebagai siswa yang berprestasi di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis, Keumala berhak memilih jurusan yang ia inginkan. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, ia memilih jurusan Angkatan Laut. 

Maklum karena sejak kecil jiwa pelaut telah ditanam oleh ayah dan kakeknya. Dalam masa-masa pendidikan militernya, ia berhasil dengan mudah melahap semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh para instrukturnya.

Prestasi Malahayati tersebar di lingkungan istana. Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil pada masa pemerintahan 1589 M--1604 M mengangkat Malahayati sebagai komandan protokol Istana Darud-Dunia di Kesultanan Aceh Darussalam.

Jabatan ini menuntutnya piawai menguasai wawasan etika dan keprotokolan.

Pada suatu saat di Kampus Akademi Militer Mahad Baihil makdis tersebut, Keumala berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior dari dirinya. Perkenalan berlanjut hingga membuahkan benih-benih kasih sayang.

Keduanya akhirnya sepakat menjalin cinta. Setelah tamat pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis, keduanya akhirya menikah sebagai suami-istri. Sayang, identitas suaminya tidak terlalu terungkap di berbagai manuskrip.

Suaminya disebutkan gugur di palagan Selat Malaka ketika melawan Portugis.

Pasukan Inong Balee (wanita janda)

Laksamana Keumalahayati
Setelah suaminya gugur, Malahayati memohon kepada Sultan al-Mukammil, raja Aceh yang berkuasa dari 1596-1604, untuk membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para janda pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran di Selat Malaka itu.

Gayung bersambut. Saat itu Kerajaan Aceh memang tengah meningkatkan keamanan karena gangguan Portugis. Usul membentuk armada dikabulkan, Malahayati diangkat jadi Panglima Armada Inong Balee atau Armada Perempuan Janda. 

Ia didaulat sebagai laksamana. Sejak itulah gelar laksamana angkatan laut perempuan pertama ia sandang.

Pasukan itu bermarkas di Teluk Lamreh Krueng Raya. Benteng Kuto Inong Balee dengan tinggi sekitar tiga meter dibangun. Lengkap dengan meriam. Sisa-sisa benteng itu kini masih bisa dilihat di Aceh.

Sebagai seorang laksamana angkatan laut, peran Malahayati sangat krusial. Debut pertempuran perdananya ialah melawan Portugis di perairan Selat Malaka.

Tak hanya menyusun pertahanan di darat. Pasukan Inong Balee dilengkapi seratus lebih kapal perang. Pasukan yang semula hanya 1000 orang, lama-lama bertambah hingga mencapai 2000 pasukan. Armada asing yang melintas di Selat Malaka pun menjadi gentar.

Tak jauh dari pangkalan militer tersebut, Malahayati juga membangun Benteng Inong Balee. Kekuatan armada pimpinan Malahayati terbilang luar biasa. Ini terbukti dengan sepak terjangnya selama mengawasi Pelabuhan Syahbandar.

Mata uang dan koin emas

John Davis, seorang berkebangsaan Inggris, nahkoda di sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Malahayati menjadi Laksamana. melaporkan, Kerajaan Aceh pada masa itu mempunyai perlengkapan armada laut terdiri dari 100 buah kapal perang, diantaranya ada yang berkapasitas 400 - 500 penumpang. 

Pada saat Malahayati menjadi laksamana, komoditas ekonomi yang dihasilkan bumi dan laut Aceh dan daerah-daerah Semenanjung Melayu sangat melimpah ruah sehingga banyak digemari bangsa Barat seperti Belanda, Portugis, dan Inggris. Di antara komoditas andalan Aceh adalah lada dan rempah-rempah. 

Aceh begitu terbuka untuk bekerja sama dengan mereka, tetapi sayang bangsa-bangsa Barat yang rakus dan ingin menguasai komoditas yang bukan hak mereka dengan berbagai cara mulai dan trik halus seperti membuat perjanjian dagang sampai yang paling kasar menyerang Aceh. 

Pada saat itu, Aceh telah menggunakan uang resmi yang digunakan sebagai alat tukar dalam perdagangan antar bangsa. Mata uang yang berbedar saat itu adalah ringgit dan dirham Aceh, rial cap meriam Portugis, ringgit cap matahari Jepang dan ringgit cap tongkat lnggeris. Uang yang diterbitkan Aceh terbuat dari tembaga, perak dan emas. 

Masa itu Kerajaan Aceh memiliki angkatan perang yang kuat. Selain memiliki armada laut, di darat ada pasukan gajah. Kapal-kapal tersebut bahkan juga ditempatkan di daerah-daerah kekuasaan Aceh diberbagai tempat. Untuk menerbitkan uang ini, Aceh secara khusus mengundang ahli emas dan India dan ditempatkan di Kampung Pandee.

Membunuh Cornelis de Houtman

Cornelis De Houtman
Peran Malahayati berlangsung hingga masa perlawanan Belanda. Kekuatan Malahayati mendapat ujian pertamakalinya ketika terjadi kontak senjata antara Aceh dengan pihak Belanda. 

Pada tanggal 21 Juni 1599 saudagar Belanda datang di Aceh, mereka menggunakan kapal De Leeuw dan De Leeuwin. Dua kapal itu di bawah kendali dua orang bersaudara yakni Cornelis De Houtman dan Frederick De Houtman. 

Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia. Pasukan ekspedisi dari Belanda itu yang baru saja selesai berperang dengan Kesultanan Banten.

Setibanya di Aceh, keduanya disambut dengan baik oleh Sultan di istana. Kedatangan dua orang bersaudara ini berhasil memikat Sultan sehingga Belanda diizinkan untuk melakukan perdagangan dengan Aceh sekaligus diizinkan untuk membuka kantor dagang di Aceh. 

Kerjasama ini dimanfaatkan Aceh untuk menyewa kapal-kapal Belanda yang akan digunakan untuk mengangkut pasukan ke Johor. Perjanjian sewa kapal itu ditandatangani tanggal 30 Juli 1599 dan direncanakan berangkat pada tanggal 11 September 1599. 

Namun sayang, menjelang keberangkatan pasukan Aceh ke Johor, pihak Belanda mengingkari perjanjian tersebut dan kapten kapal yang bernama J. Van. Hamskerek pun melarang pasukan Aceh naik ke atas kapal. Aceh tidak terima dengan perlakuan itu. 

Sebagian pasukan Aceh yang telah berada di atas kapal langsung marah dan mengamuk ketika Belanda menembaki beberapa pembesar Aceh yang masih berada di atas sampan termasuk kerabat sultan dan korban dan kedua belah pihak pun tidak bisa dihindari. 

Pertempuran antara pasukan Aceh dan Belanda di laut dilaporkan ke Sultan dan didengar Keumalahayati yang saat itu menjadi Panglima Pengawal lstana. Saat itu juga, Keumalahayati memberi komando pasukannya untuk berkumpul dan mengepung kantor perwakilan dagang Belanda. 

Di darat pun terjadi tembak-menembak antara pasukan Belanda dan anak buah Keumalahayati. Dalam waktu singkat pasukan Keumalahayati berhasil membuat pasukan Belanda menyerah setelah sebagian besar tewas di tangan anak buah Malahayati.

Dalam penyerangan itu, Cornelis de Houtman sendiri tewas ditangan Malahayati dan beberapa anak buahnya juga terbunuh. Sedangkan Federick de Houtman ditawan selama dua tahun dan dijebloskan ketahanan kerajaan Aceh.

Namun ketika mereka hendak membakar kantor dan gudang Belanda, Sultan melarang dan atas komandan Malahayati rencana untuk membakar gedung itu batal dilakukan demi mentaati perintah Sultan.

Negosiator Ulung

Jacob Cornelisz. van Neck
Tak kapok, Pada 21 November 1600, Belanda mengirim pasukan ke Malaka. Kali ini di bawah komando Paulus van Caerden. Mereka menjarah dan menenggelamkan kapal-kapal yang penuh rempah-rempah di pantai Aceh. 

Juni tahun berikutnya, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob van Neck, yang tengah berlayar di pantai Aceh. Setelah berbagai insiden, Belanda mengirim surat diplomatik dan memohon maaf kepada Kesultanan Aceh melalui utusan Maurits van Oranjesent.

Peristiwa terbunuhnya de Houtman penawanan  Jacob Cornelisz van Neck, sesuatu yang menggegerkan bangsa Eropa dan terutama Belanda sekaligus menunjukkan kewibawaan Keumala ketika Mahkamah Amsterdam menjatuhkan hukuman denda kepada Van Caerden sebesar 50.000 gulden yang harus dibayarkan kepada Aceh.

Tak hanya sebagai laksamana, Malahayati ternyata juga merupakan sosok negosiator ulung.

Maurits van Oranje sent
Pada Agustus 1601, Malahayati memimpin Aceh untuk berunding dengan dua utusan Maurits van Oranje sent, Laksamana Laurens Bicker dan Gerard de Roy.

Mereka sepakat melakukan gencatan senjata. Belanda juga harus membayar 50 ribu gulden tersebut sebagai kompensasi penyerbuan yang dilakukan van Caerden.

Denda tersebut adalah buntut tindakan Paulus van Caerden ketika datang ke Aceh menggunakan dua kapal, menenggelamkan kapal dagang Aceh serta merampas muatannya berupa lada, lalu pergi meninggalkan Aceh. 

Malahayati memerintahkan pasukannya bergerak ke laut mengejar Belanda. Dengan armada sampan dan perahu kecil mereka mengejar kapal Belanda yang ukurannya lebih besar. 

Untuk mempercepat laju kapalnya, Belanda membuang sauh agar kapal cepat melaju di laut dan bebas bergerak menghindari kejaran pasukan Keumalahayati menuju pulau Ceylon. Namun keduanya dapat dikejar dan akhirnya ditahan di Aceh. 

Sampai ke telinga Elizabeth I


Sepak terjang Malahayati sampai juga ke telinga Ratu Elizabeth, penguasa Inggris. Tak seperti Portugis dan Belanda, Negeri raksasa itu memilih cara damai dengan Aceh saat hendak melintas Selat Malaka. Pada Juni 1602, Ratu Elizabeth I memilih mengutus Sir James Lancaster ke Aceh.

Sultan memerintahkan Laksamana Keumalahayati untuk menyambut kedatangan orang-orang Inggris. Sumber wikipedia menyebutkan Sir James Lancaster bersama rombongan pertama kali mendarat di Aceh pada 5 Juni 1602.

Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten.

Ketika menyambut utusan Inggris. Laksamana Keumalahayati melaksanakan semua instruksi sultan dalam rangka penyambutan utusan Inggris yang pada saat itu sedang bermusuhan dengan Portugis. 

Sir James Lancaster
Ini dilakukan karena Laksamana Keumalahayati berpendapat bahwa bersahabat dengan Inggris Aceh akan mempunyai kekuatan dan bergaining yang lebih tinggi sehingga bisa dimanfaatkan untuk menghadapi Portugis. 

Sir James Lancaster dan para pengiringnya disambut dengan jamuan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah pada malam hari.  Selama di Aceh, Malahayati memberikan perlindungan penuh bagi utusan Inggris. 

Ini dibuktikan dengan kedatangan Keumalahayati di tempat penginapan Sir Lancaster pada sore hari pada pertama kedatangannya setelah pagi harinya didatangi seorang utusan yang menyampaikan surat khusus dari sultan.

Kedatangan Malahayati ke penginapan Sir Lancaster untuk memberi tanda mata berupa zamrud. Di samping itu, Malahayati juga membawa kabar penting tentang kedatangan 20 armada Portugis di Malaka dan akan ke perairan Aceh. 

Perempuan pemberani ini memberi saran kepada utusan Ratu Elizabeth agar segera meninggalkan Aceh untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Lancaster ingin tetap bertahan di Aceh namun Laksamana meyakinkan bahwa Portugis akan menimbulkan bencana jika Lancaster tetap di Aceh karena Portugis juga mengincar perdagangan dengan Aceh terutama lada namun belum mendapatkan izin dan Sultan Sayid Mukammil. 

Malahayati menjanjikan, jika Lancaster mau meninggalkan Aceh saat itu, ia berjanji akan menahan Portugis di perairan Aceh selama 10 hari agar tidak bisa mengejar utusan Ratu Elizabeth itu. Setelah mendapat jaminan keamanan akhirnya Lancaster bersama rombongan meninggalkan Aceh pada malam itu juga untuk segera kembali ke Inggris. 

Keberhasilan menempuh jalan damai ini membuat James Lancaster dianugerahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.

Peristiwa penting lainnya selama Malahayati menjadi Laksama adalah ketika ia mengirim tiga utusan ke Belanda, yaitu Abdoelhamid, Sri Muhammad dan Mir Hasan ke Belanda. Ketiganya merupakan duta-duta pertama dari negara/kerajaan di Asia yang mengunjungi negeri Eropa.

Rombongan duta Aceh itu tiba pada Agustus 1602, tapi pada 9 Agustus Abdul Hamid sendiri meninggal dunia di negeri Eropa dan dimakamkan diperkarangan gereja St Pieter di Middelburg, Zeeland.

Tahun 1602, Abdul Hamid beserta rombongan tiba di Belanda.

Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Sejumlah sumber sejarah menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis itu. 

Dia kemudian dimakamkan di lereng Bukit Lamkuta, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh.

Malahayati sungguh melegenda. Banyak cacatan orang asing tentang Malahayati. Kehebatannya memimpin sebuah angkatan perang ketiga itu diakui oleh negara Eropa, Arab, Cina dan India. Namanya saat ini dipakai untuk jalan, rumah sakit, universitas di Pulau Sumatera, hingga kapal perang TNI Angakatan Laut. 

Di bawah Sultan Iskandar Muda (1607 M--1636 M), Aceh mencapai puncak kejayaannya bersama Laksamana Keumalahayati, sang pahlawan wanita tiga zaman.

***

Pada zaman moderen ini ternyata juga ada banyak perempuan-perempuan Indonesia yang hebat sebagai pelaut.

1. Capt. Etin Kartini

Tak mudah mengubah pandangan orang terhadap perempuan yang meniti karier di bidang yang biasanya sangat “lelaki”. Anggapan miring pun bisa muncul, mulai dari melabrak kodrat, mengancam kelanggengan keluarga, dan berbulan-bulan bergelut dengan awak kapal yang hampir bahkan semuanya adalah kaum Adam. Kalau meminjam istilah pelayaran, lelaki selalu di haluan, perempuan berkecenderungan di buritan.
Namun Entin Kartini memecah mitos itu. Perempuan juga bisa di haluan: maju meninggalkan buritan. Kendati tak menampik anggapan umum masyarakat, ibu tiga orang anak yang sudah menjadi nakhoda puluhan tahun itu tak terlalu mempersoalkannya.

Suaminya bilang, sayang kalau pendidikan tidak dituntaskan. Yang paling mengerti niatnya meneruskan cita-cita hanya keluarga. Toh kini Entin bisa berbahagia bersama keluarga, tapi juga bisa mewujudkan impiannya. Jejaknya berawal ketika lulus Akademi Ilmu Pelayaran (AIP)—yang kini dikenal sebagai Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran(STIP)—pada 1970.

Kerja sebagai nakhoda pun dimulai. Meski sempat terhambat, karena menikah dan kemudian mengandung, itu tak membuatnya berhenti berharap. Pekerjaan yang ditekuninya tak hanya harus menguasai teori tetapi juga mahir berpraktek, tak lain di lautan. Tak serta merta selesai pendidikan lalu didaku sebagai nakhoda. Itu baru fase lulus tahap MPB (Mualim Pelayaran Besar) IV. Supaya afdol, ditambah dua tahun berlayar untuk mendapatkan sertifikat MPB II. Nah, baru dibilang seorang nakhoda jika sudah melewati dua tahun pelayaran untuk memeroleh MPB I atau setingkat strata 2.

Dia bersyukur. Selain dia, ada seorang perempuan lagi yang berhasil lulus seangkatan. Tapi yang meneruskan karier sebagai pelaut hanya Entin. Rekannya kemudian beralih profesi di sebuah perusahaan minyak nasional. Lalu bagaimana bukan sebuah kebanggaan, setelah angkatan dia, Akademi Maritim Indonesia (AMI) Jakarta yang kini beralih nama menjadi Sekolah Tinggi Maritim Indonesia (STMI) itu sempat tak menerima taruna perempuan untuk jurusan nautika yang diarahkan sebagai nakhoda. Akhirnya, hanya Entin seorang yang tangguh menempuh pengalaman di dunia pelayaran.

Bukan kebanggaan besar jika setiap pelayar pernah Mandi Khatulistiwa, kala menyeberangi wilayah garis khatulistiwa lintang nol derajat yang diambil dari tradisi Yunani itu, seraya menumbuhkan semangat bahari. Bukan pula karena ia harus menyadari betapa sulitnya rintangan dan risiko yang mesti dihadapi di laut.

Keunggulan Entin ada pada niatnya. Setelah lulus AIP, di kapal Tampomas, dia menjadi mualim tiga termuda. Lebih khusus lagi: mualim perempuan termuda. Mulai dari kapal barang kecil, beralih ke kapal barang besar, hingga akhirnya diperkenankan membawa kapal besar. “Nggak ujuk-ujuk bisa…” katanya dengan logat Sunda yang kental.

Tak hanya mampu membuang sauh di kepulauan Nusantara, Entin juga pernah dipercayakan membawa kapal penumpang kesepuluh yang dipesan pemerintah Indonesia dari galangan kapal L Meyer, Papenburg, Jerman. Itu peluang emas.

Ceritanya sekitar 1989, dia diposisikan di bagian personalis PT Pelni. Sesekali jika ada nakhoda berhalangan, Entin yang menggantikan. Saat bertemu Habibie, Menristek saat itu, dia ditanya, “Kamu masih bisa bawa kapal, siap bawa kapal kesepuluh dari Jerman?” Entin mengiyakan. Kapal yang dimaksud ialah KM Awu, kapal bertipe penumpang.

Meski KM Awu bukan satu-satunya pesanan Indonesia dari Jerman, tapi itu bersejarah bagi Entin sebagai mualimnya. Bahkan sebelum KM Awu selesai dirakit, dia sudah melepaskan jangkar kapal selama enam bulan. Saat Habibie menawarinya dan Azwar Anas selaku Menhub saat itu mengizinkannya, Entin menghargainya sebagai “tugas khusus” bukan “pengganti”.

2.Capt. Agustin Fitriyah

Urat takut Agustin Fitriyah sepertinya sudah putus. Keseharian perempuan berusia 34 tahun ini akrab dengan lautan. Dia lebih suka menaklukkan gelombang dan arus laut yang dahsyat dibandingkan kemacetan Jakarta.
“Di daratan, saya stres melihat macet,” kata Agustin, saat diwawancarai eksklusif tim Rakyat Merdeka, Ratna Susilowati, Kartika Sari, Aditya Nugroho dan Siswanto. Wawancara berlangsung dalam suasana santai sambil makan siang di Mall Summarecon Bekasi, Sabtu (10/10).

Agustin boleh dibilang wanita langka. Indonesia baru punya satu nahkoda wanita di kapal tanker. Ngobrol dengannya cair. Langsung klik, seperti bicara dengan teman lama. “Padahal saya lebih sering ketemu ikan lho, daripada ketemu orang ha...ha...ha..,” kelakarnya sambil tertawa lebar.

Agustin menahkodai Kapal Tanker MT Merbau dengan kapasitas 3500 kiloliter. Kalau satu truk tanki BBM berisi 1.000 liter, berarti yang diangkut oleh Agustin setara dengan 3.500 truk tanki. Setelah diwisuda, cita-cita Agustin berikutnya adalah menahkodai kapal tanker gas yang kapasitasnya lebih besar.

Agustin adalah sulung dari dua bersaudara. Ayahnya seorang polisi, asli Jombang dan ibunya dari Bondowoso, kini tinggal di Jember. Suami Agustin adalah seorang kepala desa di sana, dan memiliki seorang putra. “Jadi saya ini Ibu Lurah,” katanya tertawa.

Setiap kali berlayar, minimal dia lima bulan meninggalkan rumah, bahkan pernah setahun. Tapi ketemu suami bisa dua kali sebulan. “Saya sandar di kota mana, saya telepon suami, dan dia datang menyusul ke tempat saya,” ujar Agustin.
“Suami sering cemburu, tapi dia juga tetap bertahan di Jember, karena cinta sama rakyatnya. Prinsip saya, bukan mangan ora mangan sing penting ngumpul. Tapi ora ngumpul rapopo, sing penting mangan ha...ha...ha...,” candanya tertawa lebar.

KAPAL penyeberangan di Ketapang-Gilimanuk rupanya punya andil besar dalam perjalanan hidup Agustin. Di kapal itu, dia pernah bertemu Mualim 3 (Third Officer) wanita, yang menceritakan tentang pekerjaannya. “Gaji dia saat itu Rp 3 juta. Dan saya berpikir, itu sebesar gaji bapak saya ketika itu,” kenang Agustin.
Karenanya, melamarlah dia sekolah di PIP (Politeknik Ilmu Pelayaran) di Semarang, Jawa Tengah. Dan diterima. “Saya miskin, prinsipnya saya sekolah beasiswa, dan bisa segera dapat pekerjaan,” katanya.
Ayahnya yang polisi sempat menentang keinginannya jadi pelaut. “Dalam pikiran ayah, pelaut itu pekerjaan lelaki, biasanya bertato, pakai anting. Kamu nanti nggak bisa pupuran (bedakan) ha...ha...ha...,” kisah Agustin sambil tertawa, mengingat kata-kata ayahnya, dulu.

Tapi tekadnya kuat. Dia yakin bisa lebih berhasil dari ayahnya. “Bapak bilang, kalau saya jualan tahu, anak saya jangan lagi jualan tahu. Tapi minimal harus jadi juragan tahu,” ujar Agustin.

Selepas lulus sekolah di PIP, dia berlayar. Jadi Mualim di Kapal Penyeberangan Merak-Bakauheni, lalu banting setir jadi dosen di Universitas Hang Tuah. Tapi, melaut rupanya panggilan jiwa. Meskipun posisinya saat itu sudah Dekan, dia ingin kembali ke laut. Agustin lalu sekolah Ahli Nautika 2, dan akhirnya bekerja di Pertamina. Cita-cita jadi nahkoda kapal tanker pun meletup. “Bisa nggak ya di kapal tanker. Rasanya keren kalau bisa,” kisahnya.

Motivasinya cukup kuat. Agustin pun lalu ikut tes. Banyak kawannya yang underestimateatas kemampuannya, tapi dia tak peduli. Sampai akhirnya diterima sebagai satu-satunya nahkoda wanita untuk kapal tanker. Jabatannya menanjak dari Mualim 3, lalu Mualim 2, dan Mualim 1. Suatu saat Agustin bertugas ke Singapura dan bertemu Ibu Karen (Karen Agustiawan, Dirut Pertamina saat itu) dan dia disemangati. “Ah masak cuma sampai Chief Officer. Ayo kamu pasti bisa lebih tinggi,” pesan Karen saat itu.


3. Capt. Sri Wahyuni



Belum banyak kaum hawa yang menekuni pekerjaan sebagai awak kapal. Apalagi bertindak sebagai nakhoda. Kalau yang bekerja sebagai officer, tidak sedikit. Salah satu nakhoda kapal perempuan, Sri Wahyuni, ditemui Tempo sewaktu mengikuti paket Dinner di perairan Tanjung Benoa Bali, pekan lalu.

Kapten Sri Wahyuni, 30 tahun, menakhodai kapal pesiar Bounty Cruises (BC), yang telah dilakoninya sejak 2006. Perempuan kelahiran Solo itu merupakan tamatan Akademi Maritim Nasional Indonesia di Semarang, 2002. Yuni, demikian panggilannya sehari-hari, dalam keluarga merupakan satu-satunya anak perempuan, dari enam bersaudara, yang memilih berkarir sebagai orang kapal. Yuni memulai karirnya di kapal tug boat, yang sudah menjelajahi perairan Vietnam, Thailand, dan Filipina.
‘’Saya pernah tenggelam di perairan Laut Cina Selatan. Ombak sampai tujuh meter,’’ tuturnya. Waktu itu, 18 Januari 2003, ia masih menjadi mualim (officer) kapal kargo Eng Lee Shipping. Ia juga pernah memegang tug boatmemuat minyak mentah.

Petang hari itu ia membawa 141 orang peserta Dinner selama 2,5 jam sejak pukul 18.00. Pada pagi harinya, ia membawa 280 orang wisatawan Day Cruise ke Nusa Lembongan, timur Tanjung Benoa, 45 menit perjalanan berlayar hingga balik sore harinya, pukul 16 waktu setempat.

Kapal yang dapat menampung 600-an orang penumpung tersebut, berawak 32 orang, termasuk anggota entertainer 13 orang, bisa melaju maksimum sekitar 30 knot. Untuk pelayaran Dinner, hanyalah lima knot. Di situ ada Cruise Coordintaor Yoyo – seorang alumni Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua - yang membantu Yuni mengatur aktivitas wisatawan.

Sore itu, ia ditemani seorang anaknya yang masih berusia tiga tahun, Gilberth Wahyu Winugroho Lengkong, yang mendatanginya di Tanjung Benoa, sepulangnya dari Nusa Lembongan. Wahyu adalah anak pertamanya dari suami yang juga seorang kapten kapal milik Pertamina, Yohanes Lengkong.

Apakah dia diistimewakan? ‘’Kalau diperlakukan istimewa, karena dia kapten, bukan karena perempuan,’’ kata masinis BC, Anta Subagia, yang berada di anjungan kapal membantu Sri Wahyuni.



***

Untuk sekadar hiburan mungkin ada yang berminat menonton filem ini ...